TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan pihaknya bertujuan untuk terus menjamin keberlangsungan finansial dari badan tersebut. Oleh karena itu BPJS Kesehatan menjalankan Pasal 100 Peraturan Presiden (Perpres) 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mewajibkan adanya alokasi pajak rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional.
Meskipun begitu, Fachmi tidak ingin mengkotak-kotakkan sumber pendapatan JKN. Dia pun menyatakan bahwa semua sumber pendapatan akan ditindaklanjuti dan dioptimalkan penarikannya. "Kami BPJS Kesehatan tidak ingin terlalu terjebak dalam konteks membelah-membelah [sumber pendapatan] itu, soal anggaran pendapatan dan belanja daerah [APBD] dari mana. Kalau aturannya sudah ada [terkait alokasi pajak rokok] kami tinggal tindak lanjut saja," ujar Fachmi dalam wawancara khusus yang dikutip Bisnis.com, Ahad, 15 November 2020.
Dia menilai penarikan sumber pendapatan dari pajak rokok yang belum optimal merupakan masalah teknis. BPJS Kesehatan pun, menurutnya, akan fokus meningkatkan pendapatan dan mengumpulkannya dalam pooling fund dari seluruh sumber, seperti anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBN), APBD, pajak, cukai, dan lainnya.
"Yang dibayangkan kan iurannya terbayar," ujarnya.
Berdasarkan Perpres 82 Tahun 2018, pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan sebagian pajak rokok untuk penyelenggaraan JKN, yakni sebanyak 75 persen dari 50 persen penerimaan pajak rokok. Namun, sejak pelaksanaannya, dana yang terkumpul belum pernah memenuhi ketentuan itu.
Pada 2018, pemerintah memproyeksikan pajak rokok sebesar Rp 15,3 triliun dan 50 persen di antaranya sebesar Rp 7,65 triliun, dengan perhitungan 75 persen dari jumlah tersebut artinya terdapat Rp 5,73 triliun yang seharusnya masuk ke kantong JKN. Namun, berdasarkan laporan keuangan 2018 BPJS Kesehatan, pendapatan pajak rokok tercatat hanya senilai Rp 682,38 miliar.